Teori-teori dalam kriminologi




Dalam kriminologi juga dikenal sejumlah teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahanyang berkaitan dengan kejahatan atau penyebab kejahatan. Dalam teori-teori tersebut adalah teori Asosiasi Diferensial, teori Anomi, teori Subkul-tur, teori Label, teori Konflik, teori control dan sebagainya (Indah Sri Utami, 2012:70-73). Sekian diantara penjelasan dari teori tersebut adalah:
1. Teori Diferential Association
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland (Indah Sri Utami ; 70), seorang ahli sosiologi Amerika dalam bukunya Principles of Criminology (1934). Asumsinya dalam teori ini banyak dipengaruhi oleh William I. Thomas dan George Mead yang beraliran symbolic interactionism, juga aliran ekologi dari Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay, serta culture conflict dari Thorsten Sellin. Terdapat dua versi asosiasi diferensial. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology edisi ketiga. Dalam karya tersebut perhatian Sutherland tertuju pada konflik budaya (cultural conflict), keberantakan social (social disorganization), serta diferensial association. Itulah sebabnya, ia menurunkan tiga pokok soal sebagai intisari teorinya:
-Any can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. (tiap orang menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan).
-Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual. (kegagalan mengikuti suatu pola tingkah laku (yang seharusnya) akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan).
-The conflict of culture is therefore the fundamental principle in the explanation of crime. (konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan).

2. Teori Anomie
Teori anomi pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkheim (Indah Sri Utami 2012 ; 72) yang menunjuk pada absence of social regulation normlessness. Kemudian dalam buku The Division of Labor in society (1893) Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapakan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi. Teori ini tidak lepas dari konspesi Durkheim tentang manusia, yang menurutnya ditandai oleh tiga hal, yakni manusia merupakan mahluk sosial (man is social animal); eksistensinya sebagai mahluk sosial (human being is a social animal); manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live in colonies, and his/her survival dependent upon moral conextions)
3. Teori konflik
Teori konflik muncul tidak lama setelah teori label. Teori ini lebih menekankan pada pola kejahatan dan mencoba untuk memeriksa atau meniliti pembentukan hukum dan penerapan hukum pidana. Berbeda dengan teori konflik, teori labeling kurang berorientasi pada masalah politik. Paling sedikit ada empat asumsi dasar teori konflik yang umum diakui;
-Konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masyarakat
-Masyarakat cenderung mengalami perubahan. Dalam setiap perubahan peranan kekuasaan terhadap kelompok masyarakat lain terus terjadi
- Selalu ada kompetisi dalam terjadinya perubahan
-Dalam kompetisi itu, penggunaan kekuasaan hukum dan penegakan hukum selalu menjadi alat dan mempunyai peranan penting dalam masyarakat.
4. Teori tempat kejahatan dan teori aktivitas rutin

Hasil pengamatan Shaw, McKay, dan Stark (indah Sri utami 2012 ; 73) menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan akan muncul andaikata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan dan mendorong aspek-aspek kriminogen. Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan didalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologi, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan struktural. Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan empat variable lainnya, yakni moral sinisme diantara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme control sosial. Teori aktivitas rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait dengan ekologi sosial.studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan. Inti dari semua pembahasan tentang teori kriminologi adalah bagaimana mempelajari sebab-musabab terjadinya suatu kejahatan dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Semua pendekatan teori mencoba membangun hipotesa dari persfektif yang berbeda tetapi inti pembahasannya sama yaitu objek kajian tentang masalah “kejahatan”.

0 Response to "Teori-teori dalam kriminologi "

Post a Comment